Oleh: Ahmad Fathullah
Telah dimafhumi bahwa dalam permasalahan ini terdapat 2 (dua)
khilaf yang sangat masyhur di kalangan ulama. Satu pendapat mengatakan bahwa
seorang yang berdiri ketika i’tidal setelah bangun dari rukuk adalah irsal
(melepaskan tangannya dan tidak sedekap di atas dada). Dan sebagian yang lain
mengatakan bahwa posisi tangan dalam berdiri setelah rukuk adalah bersedekap di
atas dada.Bahasan ini akan dimulai dengan hadits yang dijadikan hujjah bagi orang
yang berpendapat bahwa posisi tangan setelah rukuk adalah irsal (melepaskan
tangannya/tidak sedekap di atas dada), yaitu :
ثم ارفع رأسك حتى تعتدل قائماً؛ [فيأخذ
كل عظم مأخذه] (وفي رواية: ((وإذا رفعت فأقم صلبك، وارفع رأسك حتى ترجع العظام إلى
مفاصلها
“Kemudian, angkatlah kepalamu sehingga engkau berdiri lurus, dan
setiap tulang (kullu ‘adhmin) dapat mengambil tempatnya”. (dan di dalam sebuah
riwayat mengatakan : ) “Dan apabila engkau bangkit dari rukuk, maka luruskanlah
tulang punggungmu (fa-aqim shulbaka) dan angkatlah kepalamu hingga
tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya” [HR. Bukhari, Muslim, Ad-Daarimi,
Al-Hakim, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. Lihat dalam kitab Shifat Shalat Nabi hal. 138
oleh Syaikh Al-Albani].
Mereka yang berpendapat melepaskan tangan ketika berdiri setelah
rukuk mengatakan :
“Maksud hadits ini jelas dan gamblang, yaitu thuma’ninah di dalam
berdiri ini. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk
meluruskan semua tulang, termasuk tulang lengan/tangan, ketika berdiri i’tidal.
Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa posisi tangan ketika berdiri i'tidal
setelah rukuk adalah sedekap ?”.
Sanggahan (Ta’qib) atas pendapat tersebut akan diuraikan sebagai
berikut :
Beberapa hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang
shahih telah menjelaskan kepada kita bagaimana posisi tangan ketika berdiri
dalam shalat. Diantaranya adalah hadits :
كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل اليد
اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة
“Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam) bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya
dalam shalat” [HR. Al-Bukhari no. 740 dari Sahl bin Sa’d radliyallaahu ‘anhu].
إنا معشر الأنبياء أمرنا أن نؤخر
سحورنا ونعجل فطرنا وأن نمسك بأيماننا على شمائلنا في صلاتن
“Sesungguhnya kami para nabi
telah diperintahkan untuk mengakhirkan sahur kami, menyegerakan buka puasa
kami, dan untuk mengeratkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri
kami dalam shalat” [HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1770].
صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم
ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di atas
dadanya” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479 dari Wail bin Hujr
radliyallaahu ‘anhu].
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم
واضعا بيمينه على شماله في الصلاة
“Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat" [HR. Ad-Daruquthni
1/286 dari Wail Al-Hadlramy radliyallaahu ‘anhu].
Empat hadits di atas (dan juga beberapa hadits yang lain)
menjelaskan kepada kita bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya (bersedekap) dalam shalat. Dan hal itu
tentu tidak bisa dipahami kecuali beliau lakukan dalam keadaan berdiri ketika
shalat (mencakup semua macam berdiri : berdiri sebelum rukuk dan setelah
rukuk). Ini adalah lafadh umum.
Jikalau ada yang bertanya : “Bukankah dalam hadits telah dijelaskan
secara tafshil (rinci) dari keumuman hadits di atas bahwasannya bersedekap itu
hanya dilakukan 4 keadaan :
a) Berdiri setelah takbiratul-ihram, sebagaimana hadits :
عن وائل بن حجر أنه رأى النبي صلى الله
عليه وسلم رفع يديه حين دخل في الصلاة كبر وصف همام حيال أذنيه ثم التحف بثوبه ثم
وضع يده اليمنى على اليسرى
“Dari Wail bin Hujr radliyallaahu anhu : "Bahwasannya ia
melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika
masuk dalam shalatnya………… kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya” [HR. Muslim no. 401 dimana Imam Muslim meletakkan hadits ini pada bab
yang berjudul : وضع يده اليمنى على اليسرى بعد تكبيرة
الإحرام...... = Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah
takbiratul ihraam] .
b) Berdiri ketika bangun dari sujud
c) Berdiri ketika bangun dari at-tahiyat awal; dimana butir a dan b
berdasarkan keumuman hadits yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan pada
waktu berdiri pada raka’at dua, tiga, atau empat adalah sama dengan apa yang
dilakukan pada saat raka’at pertama. (HR. Muslim, Ahmad, dan lainnya).
Hal itu kita jawab :
Penyebutan 3 (tiga) kondisi sebagaimana tersebut di atas bukanlah
merupakan perincian dan batasan yang menyeluruh. Banyak contoh serupa yang
terdapat dalam hadits. Contohnya adalah, ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam menjelaskan sucinya kulit yang telah disamak dengan sabdanya :
إذا دبغ الإهاب فقد طهر
“Apabila telah disamak kulit binatang, maka, maka ia menjadi suci”
[HR. Muslim no. 366, Ahmad no. 1895, dan yang lainnya].
Pemahaman yang didapat dari hadits adalah semua kulit yang telah
disamak adalah suci. Akan tetapi, konteks yang dibicarakan dalam hadits
hanyalah kulit bangkai kambing. Tidak semua kulit binatang disebutkan dalam
hadits. Namun, ini bukan berarti kulit yang lain yang tidak disebutkan dalam
hadits – seperti misal : kulit kerbau, kulit kelinci, atau kulit sapi – tidak
termasuk dalam keumuman hadits kesucian kulit yang telah disamak. Bahkan semua
kulit binatang yang telah disamak adalah suci. Tegasnya, sesuatu yang telah ada
asalnya atau pokoknya, bila perinciannya tidak disebutkan disebutkan dalam
riwayat, tidak otomatis bahwa “yang tidak disebutkan” itu tidak ada. Begitu
juga dengan bersedekap ketika berdiri setelah rukuk. Walaupun tidak disebutkan
secara sharih oleh riwayat, maka hal itu termasuk keumuman dari berdiri dalam
shalat yang di dalamnya diperintahkan untuk bersedekap. Dan hal itu akan lebih
jelas pada penjelasan berikutnya.
Ketika menyebutkan keadaan waktu berdiri setelah rukuk, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan meluruskan punggung sehingga setiap
tulang kembali ke tempatnya. Hal ini sebagaimana hadits :
فإذا رفع رأسه استوى حتى يعود كل فقار
مكانه
“Apabila beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya, beliau berdiri rata sehingga setiap
tulang belakang kembali kepada tempatnya” (HR. Al-Bukhari no. 827 dari Abu
Humaid As-Saidi radliyallaahu ‘anhu].
ثم قال سمع الله لمن حمده ورفع يديه
واعتدل حتى يرجع كل عظم إلى موضعه معتدل
Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : Sami’allaahu
liman hamidah dan mengangkat kedua tangannya dan berdiri i’tidal sehingga
setiap tulang mengambil posisi di tempatnya dengan lurus” [HR. Ibnu Khuzaimah
no. 587 dari Abu Haumaid As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu].
فإذا رفع رأسك فأقم صلبك حتى ترجع
العظام إلى مفاصلها
(Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :) “Apabila
engkau mengangkat kepalamu di waktu rukuk, maka tegakkanlah tulang punggungmu
hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya” [HR. Ahmad no. 19017 dari
Rifa’ah bin Rafiq Az-Zarqi radliyallaahu 'anhu].
ثم يمكث قائماً حتى يقع كل عضو موضعه
“…Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menunggu sambil
berdiri hingga setiap anggota badan terletak (kembali) pada tempatnya”
[Subulus-Salam, Kitaabush-Shalah].
Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa posisi
tangan/tulang tangan sebelum rukuk (yaitu ketika berdiri) adalah bersedekap.
Pemahaman yang didapatkan adalah, ketika ada perintah untuk mengembalikan
tulang (العظم) pada
posisinya/tempatnya/sendinya semula, maka hal ini tentu merujuk pada posisi
bersedekap.
Jikalau ada yang bertanya : “Bagaimana bisa dikatakan bersedekap
jikalau hadits di atas menyuruh kita untuk mengembalikan tulang dengan lurus
(sehingga menunjukkan posisi tangan adalah irsal) sebagaimana riwayat Ibnu
Khuzaimah dan At-Tirmidzi berikut :
واعتدل حتى يرجع كل عظم في موضعه
معتدلا
“Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berdiri tegak hingga
setiap tulang kembali kepada tempatnya masing-masing dengan lurus” [HR. Ibnu
Khuzaimah no. 677 dan At-Tirmidzi no. 304 dari Abu Humaid As-Sa’idi
radliyallaahu ‘anhu, dan ia berkata : hadits hasan shahih].
Maka kita jawab : “Lurus yang dimaui dalam hadits tersebut bukan
lurusnya tangan, akan tetapi lurusnya punggung sehingga seseorang berdiri
dengan tegap ketika i’tidal dalam shalat setelah rukuk”. Dalam beberapa hadits
yang telah dituliskan di atas disebutkan dengan menggunakan lafadh [كل عظم] dan [العظام].
Bentuk kalimat ini adalah muthlaq, yaitu lebih umum yang meliputi semua tulang,
tiap-tiap tulang, atau tulang-tulang. Setelah itu, coba kita perhatikan riwayat
Abu Humaid di atas dari Al-Bukhari :
فإذا رفع رأسه استوى حتى يعود كل فقار
مكانه
“Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya,
beliau berdiri rata sehingga setiap tulang belakang (فقار)
kembali kepada tempatnya”
Dan juga hadits dari Rifa’ah :
فإذا رفع رأسك فأقم صلبك حتى ترجع
العظام إلى مفاصلها
“Apabila engkau mengangkat
kepalamu di waktu rukuk, maka tegakkanlah tulang punggungmu (صلبك)
hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya”.
Dua hadits di atas telah membatasi (men-taqyid) dari ke-muthlaq-an
kalimat [كل عظم] dan [العظام]. Jadi yang dimaksud dengan “setiap
tulang” yang hendaknya diluruskan adalah tulang punggung. Dan yang menguatkan
hal tersebut adalah bahwa penafsiran atau pen-taqyid-an (pembatasan) ke dalam
makna tulang punggung ini merupakan ucapan dan perintah dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam yang dilihat dan didengar oleh para shahabat. Adapun
lafadh-lafadh {[كل عظم] dan [العظام]} merupakan perbuatan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dikhabarkan oleh para shahabat dari apa yang
mereka lihat. Tentu pengkhabaran ini sesuai dengan pemahaman dan bahasa dari
orang yang mengkhabarkan, walaupun mereka ini (para shahabat) merupakan
thabaqat yang paling tsiqah. Kedudukan yang terakhir ini tidak bisa mengalahkan
kedudukan yang pertama dalam hal pengambilan pemahaman sebagaimana mafhum
diketahui.
KESIMPULAN : Posisi tangan ketika berdiri setelah rukuk adalah
bersedekap, bukan irsal (melepaskan/meluruskan kedua tangan ke bawah). Allaahu
a’lam.
0 comments:
Posting Komentar